Peran dan Tantangan Politik Islam Kontemporer di Dunia Modern

Siyasah
22.7.24
Last Updated 2024-07-22T11:09:32Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
adv

Oleh : Jamal Mildad, M.Kom (Pemimpin Redaksi Siyasah News)

Dalam beberapa dekade terakhir, politik Islam telah menjadi salah satu topik yang paling menarik perhatian di dunia internasional. Dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara, dinamika politik yang berakar dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam terus berkembang dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bagaimana kita seharusnya memahami fenomena ini dalam konteks kontemporer?

1. Sejarah dan Konteks

Sejarah politik Islam tidak dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran agama yang mengatur kehidupan pribadi dan sosial umatnya yang diajarkan dalam Islam. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, Islam telah memberikan panduan yang komprehensif dalam hal pemerintahan, keadilan sosial, dan etika politik. Dalam sejarahnya, kekhalifahan dan berbagai kerajaan Islam telah menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini diterapkan dalam pemerintahan yang beragam.

Namun, sejarah juga mencatat bahwa politik Islam mengalami banyak transformasi. Kolonialisme, modernisasi, dan globalisasi telah memberikan tantangan baru yang memaksa umat Islam untuk menyesuaikan diri tanpa kehilangan identitas religius mereka.

2. Politik Islam dalam Praktik

Di era kontemporer, politik Islam tidak monolitik. Kita bisa melihat spektrum yang luas dari bagaimana nilai-nilai Islam diintegrasikan dalam politik. Negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, dan Pakistan memiliki model yang berbeda dalam mengimplementasikan hukum dan prinsip Islam dalam tata kelola negara mereka.

Di Indonesia, politik Islam lebih inklusif dan demokratis. Partai-partai politik berbasis Islam seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dahulunya Partai Keadilan (PK) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) berusaha menggabungkan nilai-nilai Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi demikian juga partai Masyumi pada era lama, mereka berpartisipasi dalam pemilu dan mendukung kebijakan yang tidak hanya berlandaskan pada ajaran Islam tetapi juga mempertimbangkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

- Teori Politik Menurut Islam dan Barat

Dalam kehidupan kita sehari-hari istilah, politik sudah tidak asing lagi karena segala sesuatu yang dilakukan atas dasar kepentingan kelompok atau kekuasaan sering kali di atasnamakan dengan lebel politik, kepentingan politik. Pengangkatan atau pencopotan seorang pejabat kadang dilakukan atas pertimbangan politik. Sehingga dalam politik ada adegium bahwa tidak ada kawan dan lawan sejati, yang ada kepentingan sejati.

Dalam Roget’s Trusty Thesaurus, pelaku politik (politisi/politikus) diartikan sama dengan perbuatan korupsi, pembuat rusuh, tukang protes, dan penipu. Politik dicitrakan dengan perbuatan tidak jujur, curang, tega, kotor dan jahanam. Dengan kata lain, politik diartikan sebagai penyimpangan perilaku yang keluar dari tatanan kehidupan normal, bahkan diluar negeri, seperti di Amerika Serikat bahwa 20 % penduduk Amerika tidak menginginkan anak-anaknya memilih profesi sebagai politisi (Cangara, 2009)

Namun belakangan ini istilah politik lebih banyak memberi tekanan pada negara dalam hubungannya dengan dinamika dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Eric Laouw (2005) dalam bukunya “The media of Political Proces”, yang initnya bahwa tujuan politik bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau golongan melainkan untuk kepentingan seluruh masyarakat (Meriam 2009).

Meriam menyatakan bahwa politik adalah kegiatan yang dilakukan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan dan melaksanakan tujuan tersebut. Untuk melaksanakan tujuan itu, diperlukan kebijaksanaan umum (public policy) yang mengatur alokasi sumber daya yang ada. Dan untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut, perlu ada kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai, baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang bisa timbul setiap saat. Jadi politik secara positif memiliki dinamika kebijakan, kekuasaan dan kewenangan.( Bansu I. Ansari: 2012).

Henry Subiakto & Rachmah Ida menguraikan kepemimpinan di Indonesia, bahwa sejak Indonesia merdeka, secara kategorial rakyat dan bangsa ini merasakan empat jenis sistem kemasyarakatan: eforia kemerdekaan berdaulat, demokrasi terpimpin, Orde Baru, dan era Reformasi.

Dalam era dua sistem yang pertama relatif tidak terjadi gejolak sosial ekonomi, karena masyarakat saat itu relatif sama (miskinnya) dan suasana rasa kebanggaan berbangsa masih sangat kuat menjadi perekat. Di samping itu, sistem nilai yang menghargai manusia dari sikap dan tindak tanduknya masih menjadi mainstream saat itu. Karenanya, bukan hal aneh jika tokoh NU dan Menteri Agama Wahid Hasyim sarapan bersama Tan Malaka (salah satu tokoh kontroversial politik Indonesia), perbedaan pendapat dan keyakinan politik juga tidak memutuskan hubungan pribadi Soekarno-Hatta. Meski kukuh dengan pendirian politik masing-masing dan sering berpolemik, tetapi bila yang satu sakit yang lain menjenguk seraya menanggalkan perbedaan politiknya.

Era Orde Baru membawa bangsa Indonesia dalam perjalanan budaya yang berbeda. Era ini dengan jargon “pembangunan merupakan pengamalan Pancasila,” yang dalam perjalananya diwujudkan dengan tiga sasaran utama, yaitu kestabilan politik, pertumbuhan ekonomi, pemerataan hasil-hasilnya.

Rezim ini sangat efektif membangun infrastruktur politik untuk mewujudkan dua sasarannya, tetapi gagal dalam sasaran terakhirnya. Efek sosial ekonomi utama yang terjadi adalah perubahan besar cara pandang bangsa Indonesia terhadap sebuah kesuksesan. Kalau era sebelumnya orang yang sukses adalah yang menurut J.F. kennedy “ yang sudah memberikan sesuatu kepada bangsa,” maka dalam Orde Baru orang yang sukses diukur dari berapa banyak (materi) yang dimiliki.

Perubahan tata nilai secara sistematis selama 32 tahun tidak hanya mencetak generari baru yang materialistis, tetapi yang lebih parah adalah hilangnya unsur humaniora dalam pergaulan anak bangsa. Karena ukurannya adalah banyaknya materi yang dimiliki, maka KKN menjadi subur dan politik katak, politik uang, sikut kiri-kanan dan injak yang bawah seolah menjadi nilai baru.

Secara sosial budaya penghormatan terhadap eksistensi kemanusian seolah telah lenyap tertelan bumi. Perbedaan pendirian yang dengan indah dan menawan diperlihat generasi sebelumnya, digantikan dengan menang-menangan. Kekalahan dianggap sesuatu yang memalukan, sehingga lawan politik harus “diamputasi”.

Era Reformasi yang sudah berjalan satu dekade ini belum juga menorehkan sejarah signifikan, kecuali pergantian empat orang presiden. Inilah yang menurut teori sosial klasik disebut sebagai masyarakat tanpa nilai, di mana nilai lama sudah dihancurkan sementara nilai baru belum terbentuk.

Era yang awalnya diimpikan bisa mengoreksi dan mengembalikan gerbong kehidupan berdemokrasi dan kemasyarakatan yang telah lenceng ini, ternyata dalam banyak hal hampir sama bahkan beberapa jauh lebih buruk dari Orde Baru.

Secara sosial ekonomi KKN yang terjadi tidak hanya merebak hampir ke semua level sistem kemasyarakatan, tetapi yang lebih memprihatinkan adalah vulgarnya pihak-pihak yang ber-KKN itu dalam melakukan aksinya.

Adapun secara politik, hukum rimba dan sikap aji mumpung sangat kental mewarnai. Akibatnya, kepentingan kelompok dan golongan lebih diutamakan daripada kepentingan bangsa dan masyarakat. Esensi demokrasi the winner takes all tidak berlaku, karena kekalahan adalah sesuatu memalukan sehingga suburlah budaya tandingan dan/ atau memutus silaturrahmi.

- Wujudkan kepemimpinan yang efektif

Pergantian dari era Orde Baru ke Reformasi memang tidak menyisakan waktu yang cukup untuk memprakondisikan tata nilai baru yang hendak disepakati. Hal ini tidak lepas dari fakta, bahwa meskipun tidak sedikit pihak yang ingin adanya pergantian kepemimpinan, tetapi pergantian itu sendiri hanya terjadi dengan hanya bantuan krisis ekonomi Asia tahun 1997.

Jika, era Reformasi ini menghadapi dua masalah besar sekaligus, yaitu secara struktural hanya terjadi pergantian di tingkat atas serta parahnya kemerosotan perekonomian bangsa. Dekadensi moral pada penguasa, haruslah menjadi perhatian yang serius.

Karena mesin birokrasi yang selama ini menjadi sarang penyakit KKN, tidak diselesaikan dengan tuntas, maka dampaknya bukan hanya susahnya pemberantasan KKN melainkan juga menyuburkan sebaran epidemik KKN ke tingkat atas. Ini dapat dilihat dari banyaknya mantan menteri dan pejabat tinggi yang berurusan dengan hukum.

Adapun dari sisi masyarakat luas, krisis ekonomi yang terjadi telah mendegradasi tingkat kehidupan yang telah mereka nikmati selama ini. Bagi orang yang terbiasa menikmati/ memiliki sesuatu, tetapi tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka tidak bisa lagi menikmati, implikasi sosial dan psikologisnya sangat besar.

3. Tantangan dan Kontroversi

Meskipun banyak negara telah berhasil mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam politik mereka, tantangan dan kontroversi tetap ada. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menyeimbangkan antara nilai-nilai religius dengan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi modern. Beberapa negara menghadapi kritik karena dianggap menafsirkan hukum Islam secara kaku yang mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak individu, terutama hak perempuan dan minoritas.

Di sisi lain, radikalisme dan ekstremisme juga menjadi ancaman serius bagi citra politik Islam. Kelompok-kelompok seperti ISIS menggunakan tafsir agama untuk melegitimasi tindakan kekerasan mereka, yang pada akhirnya merugikan upaya politik Islam moderat yang ingin membangun perdamaian dan keadilan.

4. Masa Depan Politik Islam

Masa depan politik Islam akan sangat ditentukan oleh kemampuan umat Islam untuk merespon tantangan kontemporer dengan bijaksana. Dialog antara ulama, intelektual, dan politisi sangat penting untuk menemukan titik temu antara ajaran Islam dan kebutuhan zaman. Selain itu, pendidikan dan pengembangan masyarakat yang inklusif juga menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.

Penting bagi umat Islam untuk terus berinovasi dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan esensi ajaran mereka. Dengan cara ini, politik Islam dapat terus berkontribusi positif dalam membangun peradaban yang harmonis dan berkeadilan.

Harapan kita, politik Islam memiliki potensi besar untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera. Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Diperlukan upaya kolaboratif dari seluruh elemen umat Islam untuk memastikan bahwa nilai-nilai Islam dapat diaplikasikan dalam politik.***
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl