adv
Foto: Ilustrasi |
Oleh : Edy Mulyana
DI dalam struktur masyarakat Aceh, lembaga ekonomi merupakan salah satu institusi pengendalian sosial. Misalnya, prinsip mawaib (bagi hasil), salah satu pola tradisional (karena sudah diaplikasikan sejak lama) yang berhubungan dengan pengendalian sosial.
Skema yang sesuai dengan syariah ini merupakan skema kerjasama kegiatan di antara para pihak dalam kegiatan bisnis maupun nonbisnis. Disebut sebagai pengendali sosial, karena etika bisnis - seperti faktor kejujuran dan kerajinan - para pihak terkait merupakan bagian dari, dan akan sangat menentukan, kinerja kegiatan yang akan dinilai dan diapresiasi, bukan saja dari sisi ekonomi bisnis, juga dari sisi sosial budaya.
Sistem ini telah terbukti membantu ekonomi sosial masyarakat. Pembagian hasil atau mawaib ini sangat tergantung pada perjanjian para pihak dan budaya daerah masing-masing. Di Aceh Timur pola pembagiannya 1:5, yaitu 1 untuk pemilik modal dan 5 untuk pengelola dan pekerja. Di Aceh Besar polanyä 1:3.
Untuk mendapat kepercayaan masyarakat, terutama dari para pemilik modal, orang-orang yang bisa dilibatkan dan diikutsertakan adalah yang benar-benar memiliki sifat-sifat terpuji warisan nabi, seperti sidiq dan amanah.
Track record kinerja ini dapat dikaji lebih mendalam dalam berbagai pelaksanaan pembiayaan untuk berbagai kegiatan korporasi maupun ekonomi rakyat lainnya, seperti pola bergulir IDT dan P3DT, PPK, JPS, maupun berbagai bentuk kreditbergulir lainnya.
Namun survei lima tahun lalu (2001) yangdilakukan oleh Bappenas bekerja sama dengan Aceh Forum menemukan fakta, bahwa aspek koordinasi dan kesinambungan dari program sejenis ini di Aceh selama beberapa waktu terakhir relatif kurang lancar, sehingga perlu direvitalisasi.
Dalam melakukan revitalisasi tidak terlepas dari kemungkinan adanya eksperimen sistem. Sebelumnya Aceh sudah mampu melahirkan beberapa inovasi institusi seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh dan Majelis Ulama Aceh yang kemudian diimitasikan atau diduplikasikan ke daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Hal ini mungkin dapat saja dilakukan di pengelolaan moneter dan fiskal daerah seperti kemungkinan adanya (unit) bank sentral syariah di Aceh. (***)
Dikutip dari: Buku "Aceh Serambi Martabat , Jakarta, Kota Kita Press/2006