adv
Ulama bukan hanya sebagai pemimpin agama, akan tetapi juga sebagai pemimpin Siyasah Dauliyah (Pemimpin Negara), dan dengan demikian mencap pula Siyasah Syar’iyah (Politik Hukum / Persyari’atan Islam
Drs. Abbas,. M.A |
BERMULA dari sebuah kata “Politik Itu Jahat”, kalimat itu hampir di setiap tempat terucapkan dari masyarakat juga terdengar di hampir setiap telinga, itu bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena sikap pemegang kekuasaan tidak sanggup memenuhi semua harapan publik ketika menjabat, mungkin pula karena dalam kenyataan ketika mau menduduki tampuk kekuasaan menggunakan berbagai cara supaya langgeng menjadi pemimpin, apakah cara itu baik atau tidak itu bukan persoalan karena yang penting bisa mencapai tujuan.
Karena sudah terlanjur dianggap berpolitik itu tidak baik, maka kaum ulama yang masuk dalam ranah politik juga dianggap tidak baik. Munculnya anggapan kaum ulama tidak boleh berpolitik, adalah karena adanya pemahaman bahwa tugas ulama bukan sebagai pejabat pemerintah, tetapi sebagai pendidik agama, sebagai pengajar di pengajian-pengajian, penceramah dan yang lainnya yang ada sangkut paut dengan kegiatan ritual keagamaan, seperti baca doa pada acara-acara kematian dan sebagainya. Ulama dianggap tidak mampu menjalankan roda pemerintahan. Demikianlah pemahaman yang ada dalam masyarakat.
Dalam masyarakat awam ulama dipahami sebagai sosok sakral yang tidak boleh mengurus urusan dunia, sebagaimana yang disebutkan mereka lupa atau mencap tidak paham bahwa kata ulama memiliki arti sebagai berikut: Ulama adalah kata jama’ dari ‘alim (dalam bahasa Aceh ureueng malem). Ulama plural dari kata ‘Alim yang berarti bukan satu orang yaitu kata “Ulama” berarti banyak ulama. Ini adalah berdasarkan pengertian berdasarkan bahasa. Ulama dalam arti sosiologis, bermakna sama dengan pengertian bahasa, cuma di sana terdapat perbedaan yaitu satu orang atau banyak juga disebut “Ulama”. Yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang keislaman.
Terlepas dari pengertian itu ulama mendapat tempat di hati masyarakat sebagai da’i, guru agama dan masyarakat umat dalam mempertahankan eksistensi akhidah sebuah umat, telah dipercayakan oleh umat sejak dulu.
Namun ketika ulama ingin memimpin sebuah daerah, atau ingin menduduki jabatan politik seperti gubernur, bupati, dan lain-lain itu sudah dianggap salah alamat, atau salah jeb ubat (salah minum obat).
Dalam kajian agama atau kajian keislaman, anggapan ulama tidak boleh dan tidak baik berpolitik adalah anggapan yang sangat keliru, dan bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat mendorong yaitu hak memimpin publik ada pada tangan ulama dan ini merupakan amanah dari Rasul sendiri yaitu, yang berhak menggantikan kepemimpinan Rasul adalah sahabatnya yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Ia seorang yang sangat alim, sangat paham dengan sunnah Nabi sebagai orang pertama masuk Islam di kalangan sahabat dan juga pemimpin-pemimpin setelahnya dijabat oleh Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, mereka memiliki kapasitas keilmuan agama yang sangat dalam terhadap ajaran agama mereka adalah ulama, orang yang memiliki kemampuan dalam bidang ijtihad sesuai dengan kasus yang terjadi pada masanya. Oleh sebab itu para ulama memaparkan teori, bahwa ulama lebih dan sangat berhak memimpin sebuah negara, atau daerah.
Siyasah Dauliyah dan Siyasah Syar'iyah
Dalam kitab-kitab ulama klasik dijelaskan, bahwa kaum ulama bukan hanya sebagai pemimpin agama, akan tetapi juga sebagai pemimpin Siyasah Dauliyah (Pemimpin Negara), dan dengan demikian mencap pula Siyasah Syar’iyah (Politik Hukum / Persyari’atan Islam). Bisa jadi, kalau ada yang berpendapat bahwa ulama tidak berhak dan malah tidak baik menjadi pemimpin, atau kepala negara itu adalah pandangan yang keliru.
Hal seperti itu juga bertentangan dengan beberapa teori yang tertuang dalam undang-undang, bahwa semua warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih juga bertentangan dengan kaidah agama bahwa yang berhak memimpin adalah pewaris Nabi, dalam hal ini adalah ulama.
Berkaitan dengan jaringan yang berkembang “Kalau ulama jadi pejabat, maka siap-siaplah dicaci maki, maka untuk menghindari hal tersebut maka sebaiknya ulama itu harus jaga fungsinya sebagai pemimpin agama saja”. Kalimat-kalimat atau ungkapan tersebut merupakan cara agar kaum ulama merasa takut akan cacian dan hinaan kalam ia jadi gubernur, bupati, dan sebagainya. Namun sebagaimana yang diketahui bahwa hinaan dan cacian itu tetap berlangsung terus, tak pernah reda dari masa ke masa selama penentang, penjahat, yang tidak senang kepada keturunan yang masih ada di muka bumi, orang yang tidak beriman dan berlaku jahat tetap tidak senang kepada yang namanya kebenaran.
Rasulullah dan sahabat-sahabatnya dalam memimpin, berdakwah terus saja mendapat cacian, bahkan sampai sekarang masih ada yang mencaci maki Nabi karena tidak senang dengan ajarannya. Maka oleh sebab itu cacian dan berbagai bentuk hinaan yang dialamatkan kepada orang tokoh agama yang memimpin sebuah negara adalah lumrah terjadi dan ketahuilah bahwa setiap kebaikan si pencaci akan diberikan kepada orang yang dicaci tanpa mencaci. Artinya adalah Allah akan memberikan kebaikan orang yang mencaci kepada orang yang dicaci memang begitulah cara Allah menambah kebaikan orang-orang dicaci maki.
Ancaman Kehancuran
Sementara itu, kalau tampuk kekuasaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya dalam hal ini ulama, maka tunggulah kehancuran. Kehancuran moral, rusaknya tatanan kemasyarakatan, ekonomi dan hilangnya pengetahuan agama dalam kalangan masyarakat, dan ini yang sedang terjadi, dan akan terus terjadi kalau kepemimpinan dipegang oleh orang-orang yang tidak tahu dan tidak mau tahu menghidupkan suasana agama dalam kehidupan masyarakat. Sebagai mana yang terlihat, bahwa pemerintahan itu hanya mengurus bidang-bidang administrasi kepemerintahan sesuai dengan aturan-aturan yang ada, sementara sisi moralitas yang bermuara pada kesadaran beragama jauh dari jangkauan. Sehingga yang terjadi dalam komunitas kemasyarakatan, orang tidak mengetahui hukum dan norma-norma agama.
Menilik pada saat sekarang pemimpin kebanyakan bukan ulama.
Menurut undang-undang memang dibenarkan karena semua warga yang memenuhi syarat berhak menjadi kepala daerah, atau pemimpin. Namun dalam ajaran Islam yang berhak menjadi pemimpin adalah ulama, maka oleh sebab itu kalaupun bukan seorang ulama yang menjadi sebagai pemimpin, maka berkewajiban pemimpin itu bersinergi dengan kaum ulama bukan hanya sekedar basa-basi politik, tetapi memang untuk menjalankan misi khalifah diatas permukaan bumi.(***)