Mengatasi Praktik Nepotisme dalam Rekrutmen: Perspektif Empiris dan Aspek Hukum

Tim Siyasah
3.10.24
Last Updated 2024-10-03T16:08:12Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
adv
Rekrutmen berdasarkan keahlian, bukan hubungan, adalah kunci untuk mencapai produktivitas maksimal di tempat kerja.




Oleh: Dr. Bukhari.M.H.CM. Advokat dan Mediator


DALAM dunia kerja, praktik nepotisme atau perekrutan berdasarkan "orang dalam", sering kali menjadi fenomena yang umum dijumpai. Meski secara etis dan hukum, rekrutmen seharusnya didasarkan pada keahlian dan profesionalisme, kenyataannya masih banyak lembaga atau institusi yang lebih mengutamakan hubungan personal ketimbang kemampuan calon pegawai. Praktik ini tidak hanya merugikan individu yang kompeten, tetapi juga mengancam produktivitas dan kualitas kinerja lembaga secara keseluruhan.

Dari segi empiris, rekrutmen berbasis orang dalam sering kali dilakukan dengan alasan loyalitas, kepercayaan, dan efisiensi dalam proses seleksi. Namun, keutamaan pada hubungan personal alih-alih keahlian dapat menurunkan daya saing organisasi dan menyebabkan stagnasi dalam inovasi. Karyawan yang direkrut bukan karena kemampuannya cenderung kurang optimal dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan keterampilan khusus, sehingga hasil kerja jauh dari maksimal. Hal ini sejalan dengan konsep meritokrasi, di mana keberhasilan seseorang seharusnya didasarkan pada pencapaian dan keahliannya, bukan pada hubungan sosial atau personal.

Dari perspektif hukum, penerapan prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi dalam rekrutmen diatur dalam berbagai regulasi, baik secara nasional maupun internasional. Di Indonesia, misalnya, Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan serta penghidupan yang layak. Selain itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap pekerja berhak diperlakukan secara adil tanpa diskriminasi. Dengan demikian, praktik nepotisme dalam penerimaan tenaga kerja jelas melanggar prinsip-prinsip tersebut dan dapat berpotensi menimbulkan sengketa hukum terkait ketidakadilan dalam rekrutmen.

Lebih jauh, dalam perspektif hukum administrasi, praktik nepotisme dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Institusi atau perusahaan yang menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang untuk merekrut individu berdasarkan hubungan personal alih-alih keahlian, dapat menghadapi tuntutan hukum dan sanksi administratif. Kementerian Ketenagakerjaan sebagai lembaga yang mengawasi hubungan kerja memiliki peran penting dalam memastikan bahwa proses rekrutmen berjalan transparan dan berbasis kompetensi, sehingga setiap individu memiliki kesempatan yang setara untuk berkontribusi di dunia kerja.

Untuk mengatasi praktik nepotisme, reformasi dalam sistem perekrutan sangat diperlukan. Salah satunya adalah dengan mengadopsi sistem seleksi berbasis kompetensi yang transparan dan terbuka bagi semua kalangan. Penggunaan tes keahlian, wawancara yang obyektif, dan penilaian kinerja berbasis meritokrasi harus menjadi prioritas utama dalam proses seleksi. Selain itu, pemerintah dan pihak swasta harus berkomitmen untuk menerapkan aturan hukum yang tegas terhadap pelanggaran dalam rekrutmen, termasuk sanksi bagi pelaku nepotisme.

Dalam kesimpulannya, rekrutmen berdasarkan keahlian, bukan hubungan, adalah kunci untuk mencapai produktivitas maksimal di tempat kerja. Hal ini tidak hanya penting dari segi kualitas kinerja, tetapi juga dalam kerangka penegakan prinsip keadilan dalam dunia kerja, sesuai dengan norma hukum yang berlaku. Dengan menempatkan profesionalisme sebagai dasar utama dalam perekrutan, dunia kerja akan lebih kompetitif dan inovatif, serta menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas dan berintegritas.(***)


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl