adv
Dalam Islam, mengemis seharusnya dihindari dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat
MENGEMIS melalui media sosial seperti TikTok dan Facebook kini kian marak. Orang-orang tampil memohon bantuan secara daring dengan berbagai narasi yang kerap menyentuh empati publik. Fenomena ini menyoroti kesenjangan sosial dan ekonomi serta lemahnya perlindungan sosial.
Dalam Islam, mengemis seharusnya dihindari dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat. Jadi, bagaimana seharusnya Islam dan masyarakat menyikapi tren ini?
Islam mengajarkan kemandirian dan kerja keras. Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang di antara kalian mengambil tali untuk membawa kayu bakar di punggungnya itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi maupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tindakan mengemis – apalagi tanpa kondisi mendesak – dianggap merendahkan martabat. Ulama seperti Imam Ghazali pun menegaskan pentingnya menjaga harga diri, kecuali dalam keadaan sangat membutuhkan.
Mengemis online seringkali dipicu oleh faktor ekonomi, seperti pengangguran dan kemiskinan. Dengan media sosial, seseorang bisa menarik simpati dan bantuan publik dalam waktu singkat. Namun, Islam mendorong setiap individu untuk mencari rezeki melalui usaha, betapapun kecil hasilnya. Mengemis secara terus-menerus, apalagi jika tidak mendesak, bertentangan dengan prinsip Islam tentang kemandirian dan keikhlasan.
Dari sisi hukum positif, pengaturan mengenai mengemis secara fisik telah diatur dalam Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menyebutkan, “Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.”
Regulasi ini berlaku untuk pengemis di tempat umum, tetapi belum ada ketentuan yang mengatur praktik mengemis online di media sosial. Maka dari itu, pemerintah diharapkan memperkuat regulasi untuk menangani fenomena baru ini. Sesuai dengan maqasid syariah (tujuan syariah), negara bertanggung jawab dalam melindungi masyarakat dan memastikan bantuan diberikan kepada yang benar-benar membutuhkan.
Mengemis online juga mempengaruhi kepercayaan publik. Di satu sisi, fenomena ini dapat menumbuhkan rasa empati, namun di sisi lain bisa memicu ketidakpercayaan, terutama jika ada yang memanfaatkan belas kasihan publik demi keuntungan pribadi. Islam mengajarkan kita untuk bijak dalam membantu, memastikan bantuan benar-benar diberikan kepada mereka yang membutuhkan, bukan untuk mendukung pola hidup malas.
Fenomena mengemis online mengingatkan kita pada pentingnya nilai kemandirian dan kerja keras yang diajarkan Islam. Usaha sendiri, betapapun kecilnya, lebih mulia daripada mengemis. Negara dan masyarakat diharapkan bekerja sama untuk menghadirkan solusi manusiawi, melalui bantuan yang tepat sasaran dan budaya kebersamaan serta kepedulian. Fenomena ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga harga diri, mengutamakan usaha, dan berempati dengan bijaksana.(***)