adv
Siapa yang akan menjadi pemimpin, bagaimana dia akan dipilih, kekuasaan apa yang akan dia miliki, menjadi isu penting bagi kehidupan intelektual Islam awal
Oleh: Hugh Kennedy (Profesor Sejarah Timur Tengah di Universitas St. Andrews) /Dikutip dari Buku "Tradisi-Tradisi Intelektual Islam"
PADA empat abad pertama Islam, muncul dua isu dan proses politik utama yang, menurut saya, membentuk latar belakang penting bagi perkembangan kebudayaan Islam. Isu besar pertama yang dihadapi masyarakat Islam, dan yang memicu perdebatan politik panas di antara mereka, adalah persoalan kepemimpinan umat.
Pertanyaan apakah Nabi Muhammad SAW memberikan instruksi tentang pergantian kepemimpinan menjadi bahan pertentangan di antara umat Islam, tetapi harus disepakati bahwa tidak ada konsensus umat tentang sifat dasar kepemimpinan setelah nabi.
Secara umum, ada dua tradisi atau cara pandang yang berkembang pada masa awal Islam yang berkenaan dengan isu-isu krusial siapa yang harus memimpin komunitas Islam, bagaimana mereka dipilih, dan kekuasaan-kekuasaan apa yang bisa dinikmatinya.
Satu pandangan berpendapat bahwa kepemimpinan umat harus diwarisi oleh ahl al-bayt atau keluarga nabi; ini biasanya, tetapi tidak selalu, didefinisikan sebagai keturunan anak perempuannya, Fatimah dan suaminya 'Ali bin Abi Thalib, yang juga adalah keponakan nabi.
Ada juga pendapat bahwa keluarga nabi seharusnya didefinisikan dengan lebih luas; namun, semua pendukung pendapat ini merasa bahwa kepemimpinan tetap harus berada di tangan keluarganya.
Konsekuensi pendapat-pendapat ini adalah lahirnya gagasan bahwa kepemimpinan itu dipilih dan disetujui tidak oleh manusia tetapi oleh Tuhan, dan karena itu, ia memiliki kekuatan dan otoritas agama untuk menafsirkan Alquran dan Sunnah.
Gagasan tentang kepemimpinan yang direstui Tuhan ini menyebutnya dengan "absolutis" berarti salah dalam memahami istilah tersebut- tampaknya berkembang dari tradisi-tradisi Arab Selatan mengenai monarki dan hirarki; inilah mungkin yang mendorong orang-orang dari suku-suku Arab Selatan untuk menganggap kepemimpinan kharismatik dan diberkati Tuhan sebagai jalan alami yang harus dilalui masyarakat Muslim untuk maju.
Tetapi ada juga model kepemimpinan alternatif yang sifatnya jauh lebih terbatas dan berkembang dari tradisi pembesar-pembesar suku. Kepala suku berasal dari kelompok utama dalam suku tersebut, tetapi dia dipilih, biasanya dari anggota keluarga terkemuka, karena kualitas kompetensi keduniaannya, kepemimpinannya dalam peperangan, pengambilan keputusan, pemberian nasehat dan lain-lain, suatu kepemimpinan yang sebenarnya tidak dipilih oleh Tuhan tetapi oleh anggota masyarakat.
Tidak mengherankan kalau gagasan tentang kepemimpinan terbatas yang dipilih manusia ini mungkin didukung oleh anggota masyarakat Muslim baru yang mempunyai latar belakang kesukuan Arab Utara dan yang terbiasa dengan gaya monarki yang sangat terbatas. Saya tidak akan menerangkan secara rinci tentang perkembangan gagasan-gagasan kepemimpinan di atas, tetapi saya kira layak dikemukakan di sini bahwa banyak kehidupan politik, intelektual, dan budaya berhubungan dengan persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan tentang kepemimpinan di dalam umat.
Pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi pemimpin, bagaimana dia akan dipilih, kekuasaan apa yang akan dia miliki, menjadi isu penting bagi kehidupan intelektual Islam awal; dan ada isu-isu politik yang serius untuk diperdebatkan, karena pada dasarnya politik Islam awal dalam kadar tertentu masih bersifat percobaan.
Ini merupakan situasi yang jarang ditemui dalam masyarakat manapun; karena di kebanyakan masyarakat, ketika mereka mengadopsi atau mengembangkan model-model politik dan mengorganisir urusan-urusan mereka, mereka cenderung melihat ke belakang kepada paradigma-paradigma masa lalu untuk menjadi acuan tentang bagaimana bertindak pada masa yang akan datang.
Dalam tradisi politik Eropa Barat, misalnya, ada kecenderungan untuk melihat masa-masa yang keemasan seorang raja, atau ke suatu titik waktu di masa lalu ketika kondisinya dianggap sempurna, kemudian dari situ sesuatu bisa diprediksi atau dikembangkan. Tetapi kedatangan Islam membuat tujuan-tujuan masa lalu tidak relevan. Kedatangan Islam adalah garis kehidupan baru, suatu masyarakat baru yang harus membangun aturan-aturan baru dan cara baru dalam mengerjakan segala sesuatu. Poin ini, saya kira, karena perdebatan hebat di bidang politik yang menjadi ciri masyarakat Islam awal, dan banyak kehidupan intelektual mereka terpusat pada isu-isu semacam ini.(***)