adv
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin. Foto : Dok/Andri |
JAKARTA, SIYASAH News | Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menanggapi wacana agar Pilkada dipilih oleh DPRD di masing-masing tingkatan, baik di level kabupaten/kota maupun provinsi.
“Sehingga yang berubah itu juga jangan modelnya saja, jangan hanya meng-engineering kita terhadap model itu, tapi aktornya juga harus mau berubah. Partai-partai, paslon-paslon juga harus berubah, ajak pemilih untuk berubah. Karena kan kita diberi tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik. Itu lah,” ujarnya saat dihubungi Parlementaria di Jakarta, Senin (16/12/2024).
Karena itu, ia berpendapat agar model Pilkada tetap bersifat langsung seperti saat ini, namun juga tetap melakukan rekayasa (engineering) agar menghindari ekses negatif dari Pilkada langsung tersebut. Misalnya, dengan cara optimalisasi Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dan juga pembiayaan partai politik melalui APBN.
Salah satu cara agar menghindari ekses negatif dari Pilkada langsung adalah dengan memisahkan waktu pelaksanaan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Hal itu merujuk pada Keputusan MK yang menyatakan bahwa Pilkada merupakan sama-sama rezim Pemilu.
Karena itu, Pemilu Lokal dilakukan serentak dengan cara memilih DPRD tingkat kabupaten/kota beserta dengan kepala daerahnya. Setelah itu, setidaknya setahun setelahnya, diselenggarakan Pilkada di level provinsi untuk memilih DPRD Provinsi beserta gubernur di masing-masing. Lalu, diselenggarakan Pemilu Nasional, yaitu DPR RI, DPD RI, beserta Presiden dan Wakil Presiden RI.
“Kenapa? Karena DPRD Provinsi, kabupaten/kota, dan gubernur, kabupaten/kota, itu kan pemerintahan daerah, local government. Kita harus kita pisah, jangan jadikan satu lagi. Karena ada keputusan MK yang memberikan enam model keserentakan Pemilu yang bisa ditawarkan,” urai Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Rekayasa Pemilu lainnya untuk mencegah ekses negatif adalah menegaskan bahwa berpartisipasi dalam Pemilu adalah kewajiban, bukan hak. Termasuk juga metode kampanye dalam Pilkada harus disusun agar lebih mengutamakan dialog dan tatap muka. Kampanye akbar yang mengundang adanya money politics harus dikurangi.
“Kampanye yang terbatas lah, terbatas. Lalu Alat Peraga Kampanye (APK) juga harus dikurangi lah. Kan ada medsos kita ini. Ada media online, ada medsos ya. Pakai itu aja. Kalau perlu negara menambah biaya untuk kampanye. Lalu jangan lagi ngasih apa? Merchandise-merchandise itu lho. Kan kita ngasih uang nggak boleh, tapi kan ngasih (merchandise) ini bisa,” papar jebolan Fisipol UGM ini.
Dengan adanya kampanye yang lebih menekankan pada program dan tatap muka, ia meyakini maka manipulasi suara akan banyak berkurang. Sebab, masyarakat akan terdidik untuk lebih melihat program nyata yang ditawarkan. (tim)
Dikutip dari dpr.go.id Zulfikar menilai selain fokus mengkaji model pemilu mana yang paling tepat dalam rangka melakukan pendalaman demokrasi (deepening democracy), yang terpenting juga adalah aktor politik itu sendiri yang harus berubah untuk memperbaiki demokrasi.
“Sehingga yang berubah itu juga jangan modelnya saja, jangan hanya meng-engineering kita terhadap model itu, tapi aktornya juga harus mau berubah. Partai-partai, paslon-paslon juga harus berubah, ajak pemilih untuk berubah. Karena kan kita diberi tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik. Itu lah,” ujarnya saat dihubungi Parlementaria di Jakarta, Senin (16/12/2024).
Karena itu, ia berpendapat agar model Pilkada tetap bersifat langsung seperti saat ini, namun juga tetap melakukan rekayasa (engineering) agar menghindari ekses negatif dari Pilkada langsung tersebut. Misalnya, dengan cara optimalisasi Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dan juga pembiayaan partai politik melalui APBN.
Salah satu cara agar menghindari ekses negatif dari Pilkada langsung adalah dengan memisahkan waktu pelaksanaan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Hal itu merujuk pada Keputusan MK yang menyatakan bahwa Pilkada merupakan sama-sama rezim Pemilu.
Karena itu, Pemilu Lokal dilakukan serentak dengan cara memilih DPRD tingkat kabupaten/kota beserta dengan kepala daerahnya. Setelah itu, setidaknya setahun setelahnya, diselenggarakan Pilkada di level provinsi untuk memilih DPRD Provinsi beserta gubernur di masing-masing. Lalu, diselenggarakan Pemilu Nasional, yaitu DPR RI, DPD RI, beserta Presiden dan Wakil Presiden RI.
“Kenapa? Karena DPRD Provinsi, kabupaten/kota, dan gubernur, kabupaten/kota, itu kan pemerintahan daerah, local government. Kita harus kita pisah, jangan jadikan satu lagi. Karena ada keputusan MK yang memberikan enam model keserentakan Pemilu yang bisa ditawarkan,” urai Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Rekayasa Pemilu lainnya untuk mencegah ekses negatif adalah menegaskan bahwa berpartisipasi dalam Pemilu adalah kewajiban, bukan hak. Termasuk juga metode kampanye dalam Pilkada harus disusun agar lebih mengutamakan dialog dan tatap muka. Kampanye akbar yang mengundang adanya money politics harus dikurangi.
“Kampanye yang terbatas lah, terbatas. Lalu Alat Peraga Kampanye (APK) juga harus dikurangi lah. Kan ada medsos kita ini. Ada media online, ada medsos ya. Pakai itu aja. Kalau perlu negara menambah biaya untuk kampanye. Lalu jangan lagi ngasih apa? Merchandise-merchandise itu lho. Kan kita ngasih uang nggak boleh, tapi kan ngasih (merchandise) ini bisa,” papar jebolan Fisipol UGM ini.
Dengan adanya kampanye yang lebih menekankan pada program dan tatap muka, ia meyakini maka manipulasi suara akan banyak berkurang. Sebab, masyarakat akan terdidik untuk lebih melihat program nyata yang ditawarkan. (tim)