Samudra Pasai dalam Rihlah Ibn Baththuthah (The Travels of Ibn Battutah)

Tim Siyasah
8.2.25
Last Updated 2025-02-09T02:40:18Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
Dalam tahun 747 H (1346 M), ia berlayar menuju Cina (Ash-Shin), dan tiba di Madinah Syumuthrah (Kota Sumatra/Samudra-Pasai) setelah 40 hari berlayar dari selatan Dhaka (ibukota Bangladesh, hari ini). Syumuthrah adalah kota di mana penguasa kawasan yang pada waktu itu dikenal dengan Jaziratul Jawah (Pulau Jawah) berkedudukan.

 

Sumber : Museum Islam Samudra Pasai, Aceh Utara

Kurator Museum Islam Samudra Pasai, Sukarna Putra sedang menjelaskan tulisan Ibn Baththutah kepada para siswa yang mengunjungi Museum Samudera Pasai di Kecamatan Samudera, Aceh Utara. (Foto: Tim SIYASAH News) 

SETELAH melawat ke berbagai bagian di dunia selama 27 tahun (antara 1325-1552 M), Ibnu Baththuthah pulang ke Moroko (Al-Maghrib) dan mengabdi pada Abu 'Inan Faris bin 'Ali, Sultan Maroko.

Di Kota Fez, penjelajah dunia yang bernama lengkap Muhammad bin 'Abdu-Llah Al-Lawathiy Ath-Thanjiy itu kemudian mendiktekan kisah lawatannya kepada Muhammad bin Juzay Al-Kalbiy pada 756 H (1355 M). Karya itu diberi judul:
تحفة النظار في غرائب الأمصار وعجائب الأسفار
(Bingkisan bagi Mereka yang Memperhatikan Keunikan Berbagai Negeri dan Keajaiban Berbagai Perjalanan)

Tuhfat An-Nuzhzhar lebih dikenal pula Rihlah Ibn Baththuthah (The Travels of Ibn Battutah) dan telah diterjemah ke dalam banyak bahasa.

Perjalanan yang dimulai dari Tangier (Thanjah), kota kelahirannya, pada Kamis, 2 Rajab 725 H (1324 M), telah membawa Ibnu Baththuthah ke berbagai tempat di dunia.

Dalam tahun 747 H (1346 M), ia berlayar menuju Cina (Ash-Shin), dan tiba di Madinah Syumuthrah (Kota Sumatra/Samudra-Pasai) setelah 40 hari berlayar dari selatan Dhaka (ibukota Bangladesh, hari ini). Syumuthrah adalah kota di mana penguasa kawasan yang pada waktu itu dikenal dengan Jaziratul Jawah (Pulau Jawah) berkedudukan.

Pada halaman naskah manuskrip Rihlah Ibn Baththuthah yang tersimpan di Bibliothèque nationale de France (Perpustakaan Nasional Perancis), Paris, No. 2291 (manuskrip Delaporte), yang diyakini sebagai naskah tertua dan telah disalin Ibnu Juzay Al-Kalbiy pada 757 H., ia mendeskripsikan Kota Syumuthrah sebagai sebuah kota yang indah dan besar (folio 81):

. ودخلنا إلى حضرة السلطان وهي مدينة شمطرة بضم الشين المهملة (المعجمة؟ والميم وسكون الطاء وفتح الراء مدينة حسنة كبيرة عليها سور خشب وأبراج خشب

"... Dan kami masuk ke hadirat Sultan, yaitu ke Kota Syumuthrah, sebuah kota yang indah dan besar, dikelilingi benteng dan menara-menara terbuat dari kayu."

Ibnu Baththuthah lalu menyebutkan tentang Sultan Sumatra (folio 81):

وهو السلطان الملك الظاهر من فضلاء الملوك وكرمائهم شافعي المذهب محب في الفقهاء يحضرون مجلسه للقراءة والمذاكرة وهو كثير الجهاد والغزو ومتواضع يأتي إلى صلاة الجمعة ماشيا على قدميه وأهل بلاده شافعية محبون في الجهاد يخرجون معه تطوعا وهم غالبون على من يليهم من الكفار والكفار يعطونهم الجزية على الصلح

"Dan dia adalah Sultan Al-Malik Azh-Zhahir, seorang raja terkemuka dan pemurah, bermazhab Syafi'iy, menyukai para ahli fiqh dan menghadiri majelis mereka untuk membaca dan mengulang. la banyak melakukan pembebasan dan jihad. Seorang yang rendah hati; pergi Shalat Jum'at dengan jalan kaki. Rakyatnya adalah pengikut mazhab Syafi'iy, sangat menyukai jihad; mereka pergi berjihad bersamanya secara suka rela, dan berkuasa atas jiran-jiran mereka yang kafir. Orang-orang kafir membayar jizyah untuk berdamai."

Apabila dalam naskah manuskrip ini Sultan Sumatra hanya disebut dengan gelarnya: Al-Malik Azh-Zhahir, dalam naskah manuskrip Muntaqa Mulakhkhash Rihlti Ibni Baththuthah (Teks-teks Pilihan dari Ringkasan Perjalanan Ibnu Baththuthah) oleh Syaikh Muhammad bin Fathu-Llah bin Muhammad Al-Bailuniy (wafat 1042 H/1632 M) yang tersimpan di Perpustakaan Al-Azhar, Kairo, (No. 4063), gelar itu telah disandingkan dengan gelar: Jamalu-ddin. Yakni, Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Jamalu-ddin.

Untuk bagian Rihlah Ibn Baththuthah yang mengetengahkan lawatannya ke kepulauan Asia Tenggara, orientalis asal Perancis, Édouard Dulaurier (1807-1881), telah tertarik untuk menyunting bagian tersebut secara khusus, menerjemahkan sekaligus memberikan komentarnya dalam Journal asiatique yang terbit pada Maret 1847. Hanya saja, Dulaurier dalam komentar-komentarnya telah menggunakan sumber Melayu yang diakuinya sendiri sebagai legenda naif. 

Legenda tersebut sebagaimana ungkapnya telah diimajinasikan pada waktu kemudian, dan tidak lebih dari sekadar upaya mendapatkan penjelasan bagi nama-nama tempat yang asal-usul dan maknanya sebenarnya telah diabaikan saja oleh orang Melayu, semisal nama Samudra yang dicobapahami berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta yang berarti semut besar. Dari itu, komentar-komentar tersebut sesungguhnya kurang bernilai dan telah mengurangi nilai kepentingan karyanya itu.

Bagaimanapun, Rihlah Ibnu Baththuthah merupakan sebuah karya besar yang telah menyediakan informasi yang lebih luas dan lebih dapat dipercaya mengenai Syumuthrah (Kota Sumatra) dalam abad ke- 8 H/ke-14 M. Dalam kelangkaan sumber sejarah yang diperlukan untuk merekonstruksi sejarah Syumuthrah (Samudra-Pasai), Rihlah Ibnu Baththuthah telah memberikan sumbangan yang tiada terkira nilainya bagi sejarah Islam di Asia Tenggara. (***)
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl